Selamat Datang

Mari berbagi ilmu, saling melengkapi. jika ada kesalahan saling membenahi.

Selasa, 09 Juni 2015

Kajian sosiologi sastra

Moralitas penguasa
dalam cerpen Banjir di Cibaresah
 karya Aba Mardjani


A.    Pengantar
Berbicara masalah sastra tentunya tidak pernah ada habisnya. Beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut Zainuddin Fananie, Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan  luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetis baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. (2000:6).  Sedangkan menurut Nani toluli, sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran, penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup
, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang  yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang; dan dapat pula sebagai campuran semua itu. Jadi sastra terlahir dari luapan emosi dan imajinasi pengarang yang  berkaitan dengan kenyataan hidup yang dituangkan dengan media bahasa yang selalu memperhatikan aspek estetis. Seperti yang diungkapkan oleh Nani Tuloli, Bahasa dan sastra, memiliki keterkaitan yang erat. Bahasa merupakan sarana pengungkap sastra, baik tertulis maupun lisan. Sastra tidak hanya perwujudan gramatika bahasa, deretan kata, susunan kalimat dan wacana. Namun lebih dari itu. Kelebihannya itu memerlukan interpretasi dengan memakai keahlian  dan pengetahuan tentang ciri dan gaya bahasa sastra. Sastra merupakan salah satu unsur kesenian, mengandalkan kreativitas dan imajinasi pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai media. (2000:5).
Mengenai Sastra dengan kenyataan hidup juga memiliki keterkaitan. baik hubungan antara sastra dan kebudayaan maupun sastra dengan masyarakat. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. mengatakan bahwa sastra dan kebudayaan  berhubungan erat. Baik secara etimologis maupun secara praktis pragmatis. Kedua istilah berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek-aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia.(2010:5). Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat.

B.     pembahasan
Cerpen Banjir di Cibaresah oleh Aba Mardjani menarik untuk di kaji dari segi sosiologi.  Cerpen ini memiliki nilai yang sangat dalam. Dari segi sosiologis menggambarkan bagaimana kondisi suatu wilayah di negara ini. Kondisi masyarakat, kondisi pemerintahan serta perilaku-perilaku manusia di era globalisasi. Maraknya praktik KKN, protitusi, lemahnya moral menjadikan kondisi sosial saat ini sangat memprihatinkan.
Penggambaran seluruh perilaku, peristiwa dalam cerpen digambarkan secara simbolis. Tidak secara langsung sehingga bisa saja ditafsirkan oleh beberapa orang menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Pemilihan simbol-simbol tertentu memberikan kesan yang mendalam sehingga apa yang ingin disampaikan oleh penulis bisa dipahami oleh pembaca secara menyeluruh.

Kondisi pemerintahan yang dinakodai oleh seorang pemimpin berkuasa atas wilayah dan bebas melakukan apa saja dari yang dikehendakinya. Penguasa dan masyarakat merupakan dua sisi yang berseberangan. Penguasa adalah sekelompok orang yang memiliki kewenangan untuk memerintah orang lain. Karena memiliki kewenangan memerintah maka istilah penguasa identik dengan istilah pemerintah. Sedangkan istilah rakyat merupakan objek dari yang diperintah oleh penguasa/pemerintah. Rakyak identik dengan kaum lemah, kaum yang tidak berdaya karena berada di bawak kekuasaan pemerintah. Ada beberapa kecenderungan bahwa penguasa memiliki hak istimewa. Dan menggunakan hak itu dengan kehendaknya sendiri tanpa melihat akibat dari perilaku yang dilakukannya. Misalnya saja dalam pembangunan, tanpa memperhatikan efek dari pembangunan yang dijalankan. Seorang penguasa  memiliki kebebasan dalam mengatur, menyusun dan memperkuat program-program kekuasaannya. Pengaruhnya serta melakukan berbagai cara agar tetap langgeng. Belum tentu dengan adanya program yang dilaksanakan para penguasa melihat efek yang terjadi dari program yang dilakasanakan. Hal ini nampak dalam kutipan berikut:
“mungkin karena terlalu makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit” Maksum mengumam, “orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air”

Sangat jelas apabila pembangunan vila seperti digambarkan dalam cerpen Banjir di Cibaresah mengakibatkan banjir karena dalam proses pembangunan itu tidak dipikirkan bagaimana cara untuk mengatasi hal-hal yang mungkin terjadi ketika pembangunan dilaksanakan. Para pembangkang dan para penentang yang dianggap mempersulit langkah penguasa, tidak sesuai dengan program yang telah dicanangkan dibumihanguskan agar langkah yang ditempuh bisa lebih mudah. Hal ini nampak dalam kutipan berikut ini:

“Maksum terperangah, “Tapi, mengapa kita disini tidak pernah mendengarnya?”
Kasdul menghela napas. “itu karena orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang.”

Dari kutipan diatas menandakan bahwa warga dilanda ketakutan karena mereka berada dalam tekanan yang besar, berupa ancaman dan keselamatan jiwa mereka sendiri. Ketakutan masyarakat tercermin pada kutipan berikut ini:
“Di hari sesiang ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia belum juga melihat tanda-tanda kehidupan didesanya. Pintu-pintu rumah  masih tetap terkatup rapat.”

Banjir dalam cerpen Banjir di Cibaresah merupakan gambaran bahwa sebuah musibah telah melanda. Musibah yang  tidak bisa dielak lagi. Dalam artian tidak hanya musibah dalam bentuk materi namun musibah yang melanda sebuah kepribadian individu, keterpurukan moral dan melemahnya jiwa sosialis yang membawa kepada keterpurukan zaman.
Pengunaan kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh iman namun nafsu sebagai pengendali seluruh aktivitas akan mengantarkan kepada sebuah tindakan tidak terpuji, tindakan yang melanggar norma-norma yang ada. Melakukan praktik Korupsi, kolusi dan nipotisme (KKN). Praktik KKN saat ini sangat menjadi budaya yang dianggap biasa dikalangan pemerintahan. Sehingga wajar jika dari kekuasaan tertinggi dalam hal ini presiden, DPR, sampai yang paling rendah yakni pemerintahan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa atau lurah dan dibantu oleh perangkat-perangkatnya berlumur praktik kotor yang mengakibatkan berbagai persoalan.
Kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat hingga rakyat sangat merasa ketakutan, tindakan itu terlihat pada kutipan berikut ini:
“ Dipinggir-pinggir kampung macam belang juga mulai berkeliaran mencari mangsa.”
“betul, tapi entah mengapa pada saat banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru mencari mangsa ke kampung-kampung, juga pada malam hari macan-macan itu memangsa kambing-kambing, kerbau-kerbau, ayam-ayam bahkan manusia pun di santapnya”

Simbol macan belang merupakan gambaran dari penguasa yang ditakuti, siapa saja harus tunduk. Memangsa benda milik warga kampung, dalam hal ini yaitu menggunakan atau menyelewengkan suatu hal yang seharusnya menjadi hak warga. semacam penyelewengan anggaran bantuan, proyek ataupun yang lain merupakan praktik KKN yang dilakukan oleh pihak penguasa. Penguasa dalam melakukan tindakan kotor itu juga didukung oleh perangkat atau bawahannya, hal ini jelas terlihat pada kutipan berikuti ini:
“Di belakang macan belang selalu mengintil srigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan belang.”

Dari kutipan tersebut disebutkan bahwa bawahan atau perangkat dari penguasa yang disimbolkan sebagai Srigala selalu mengintil, mengikuti langkah macan belang yakni penguasa dalam melakukan kejahatan itu. Mereka para pengikuti mendapatkan bagiannya sendiri. Walaupun tidak sebesar apa yang telah menjadi bagian sang atasan yang disimbolkan seperti “serpihan-serpihan dan sisa makanan si macan belang.”
Perilaku kotor para penguasa juga digambarkan sebagai berikut ini:
Masih ada yang lainnya yang tak kalah menakutkan.”
“Apa itu?’
“Ular.”
“Ular?”
“Ya, ular. Mengerikannya banyak ular yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia mengigit, mematuk, dan anehnya orang yang digigit tidak langsung mati, Cuma badannya yang kurus kering.”
“Segala macam binatang mengancam kampung kita. Ada toncat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun kini sudah mengigit manusia.”
“Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing semua mengancam kita orang-orang kampung ini.”

Simbolisasi para penguasa yang melakukan tindakan kotor, memakan harta disimbolkan sebagai penghisap yang tidak mematikan namun membuat sengsara, membuat penderitaan yang berlarut-larut tanpa memikirkan kondisi rakyat sebagai kaum yang seharusnya dilindungi. Lebih jauh penggambaran para pelaku tercermin pada kutipan berikut:
“Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa saja di kampung kita, begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa dimakan, ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa batang-batang, kecoa juga ada dimana-mana. Kotorannya bertebar dimana-mana, dan cacing-cacingnya Sum...”

Binatang sejenis tikus, anjing, kecoa, cacing merupakan simbol dari para penguasa yang memakan uang rakyat, para pelaku penyelewengan anggaran yang dianggap sangat kotor hingga disimbolkan sebagai binatang yang menjijikan. Bahkan perilaku mereka disamakan dengan setan-setan yang bergentayangan. Setan dalam dunia ini merupakan makhluk tuhan yang telah dilaknat karena jalan sesat yang di ambil. Penggambaran Perilaku para penguasa sangat jelas bahwa para penguasa saat ini memang benar-benar sudah tidak bermoral lagi. Moral meraka telah rusak karena berbagai kepentingan dan kebutuhan.
Para pemimpin yang berkuasa, yang pada mulanya sebagai harapan dan pelindung masyarakat dalam berbagai persoalan malah menjadi momok yang menakutkan masyarakat. Betapa tidak. Warga tidak berani melaporkan kejadian-kejadian yang pernah terjadi. Bahkan bagi yang melaporkan akan menerima akibtnya sendiri yang begitu fatal karena berkaitan dengan keselamatan nyawanya. Pak lurah dalam cerpen Banjir di Cibaresah merupakan seorang pemimpin yang sangat tidak manusiawi, karena dalam kasus yang terjadi di kampung nya. Para pelaku ternyata orang-orang yang dekat dengan pak lurah. Para pendukung pak lurah sehingga warga pun hanya bisa pasrah dalam berbagai kasus yang melanda karena para warga memilih keselamatan jiwa mereka sendiri daripada hilang tak berbekas.
Kepala desa sebagai dalang dalam berbagai peristiwa tercermin dalam kutipan berikut ini:
Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing . sesekali terdengan lolong anjing dan dengus babi, tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu berterbangan. Sebagian keluar masuk rumah. Sesekali berkelebat warna hitam setan-setan seolah-olah mengancam siapa saja yang berani mendekati rumah itu.”

Sangatlah jelas bahwa para biantang yang merupakangambaran dari para perangkat, pengikut kepala desa telah bersatu dengan kepala desa sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar hingga tak ada yang berani mendekat atau memberontak atak kekuasaan yang di pegangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar