Moralitas
penguasa
dalam cerpen Banjir di Cibaresah
karya Aba Mardjani
A.
Pengantar
Berbicara masalah sastra tentunya
tidak pernah ada habisnya. Beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Menurut Zainuddin Fananie, Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil
kreasi berdasarkan luapan emosi yang
spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetis baik yang didasarkan aspek
kebahasaan maupun aspek makna. (2000:6).
Sedangkan menurut Nani toluli, sastra merupakan ungkapan batin seseorang
melalui bahasa dengan cara penggambaran, penggambaran atau imaji ini dapat
merupakan titian terhadap kenyataan hidup
, wawasan pengarang terhadap kenyataan
kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang
yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan
intuisi pengarang; dan dapat pula sebagai campuran semua itu. Jadi sastra
terlahir dari luapan emosi dan imajinasi pengarang yang berkaitan dengan kenyataan hidup yang
dituangkan dengan media bahasa yang selalu memperhatikan aspek estetis. Seperti
yang diungkapkan oleh Nani Tuloli, Bahasa dan sastra, memiliki keterkaitan yang
erat. Bahasa merupakan sarana pengungkap sastra, baik tertulis maupun lisan.
Sastra tidak hanya perwujudan gramatika bahasa, deretan kata, susunan kalimat
dan wacana. Namun lebih dari itu. Kelebihannya itu memerlukan interpretasi
dengan memakai keahlian dan pengetahuan
tentang ciri dan gaya bahasa sastra. Sastra merupakan salah satu unsur
kesenian, mengandalkan kreativitas dan imajinasi pengarang dengan menggunakan
bahasa sebagai media. (2000:5).
Mengenai Sastra dengan kenyataan
hidup juga memiliki keterkaitan. baik hubungan antara sastra dan kebudayaan
maupun sastra dengan masyarakat. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U. mengatakan
bahwa sastra dan kebudayaan berhubungan
erat. Baik secara etimologis maupun secara praktis pragmatis. Kedua istilah
berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek-aspek rohaniah,
sebagai pencerahan akal budi manusia.(2010:5). Sebagai disiplin yang berbeda,
sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat.
B.
pembahasan
Cerpen Banjir di Cibaresah oleh Aba
Mardjani menarik untuk di kaji dari segi sosiologi. Cerpen ini memiliki nilai yang sangat dalam.
Dari segi sosiologis menggambarkan bagaimana kondisi suatu wilayah di negara
ini. Kondisi masyarakat, kondisi pemerintahan serta perilaku-perilaku manusia
di era globalisasi. Maraknya praktik KKN, protitusi, lemahnya moral menjadikan
kondisi sosial saat ini sangat memprihatinkan.
Penggambaran seluruh perilaku,
peristiwa dalam cerpen digambarkan secara simbolis. Tidak secara langsung
sehingga bisa saja ditafsirkan oleh beberapa orang menghasilkan pemahaman yang
berbeda pula. Pemilihan simbol-simbol tertentu memberikan kesan yang mendalam
sehingga apa yang ingin disampaikan oleh penulis bisa dipahami oleh pembaca
secara menyeluruh.
Kondisi pemerintahan yang dinakodai
oleh seorang pemimpin berkuasa atas wilayah dan bebas melakukan apa saja dari
yang dikehendakinya. Penguasa dan masyarakat merupakan dua sisi yang
berseberangan. Penguasa adalah sekelompok orang yang memiliki kewenangan untuk
memerintah orang lain. Karena memiliki kewenangan memerintah maka istilah
penguasa identik dengan istilah pemerintah. Sedangkan istilah rakyat merupakan
objek dari yang diperintah oleh penguasa/pemerintah. Rakyak identik dengan kaum
lemah, kaum yang tidak berdaya karena berada di bawak kekuasaan pemerintah. Ada
beberapa kecenderungan bahwa penguasa memiliki hak istimewa. Dan menggunakan
hak itu dengan kehendaknya sendiri tanpa melihat akibat dari perilaku yang
dilakukannya. Misalnya saja dalam pembangunan, tanpa memperhatikan efek dari
pembangunan yang dijalankan. Seorang penguasa
memiliki kebebasan dalam mengatur, menyusun dan memperkuat
program-program kekuasaannya. Pengaruhnya serta melakukan berbagai cara agar tetap
langgeng. Belum tentu dengan adanya program yang dilaksanakan para penguasa melihat
efek yang terjadi dari program yang dilakasanakan. Hal ini nampak dalam kutipan
berikut:
“mungkin karena terlalu makin banyak
vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin
menyempit” Maksum mengumam, “orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air”
Sangat jelas apabila pembangunan
vila seperti digambarkan dalam cerpen Banjir
di Cibaresah mengakibatkan banjir karena dalam proses pembangunan itu tidak
dipikirkan bagaimana cara untuk mengatasi hal-hal yang mungkin terjadi ketika
pembangunan dilaksanakan. Para pembangkang dan para penentang yang dianggap
mempersulit langkah penguasa, tidak sesuai dengan program yang telah
dicanangkan dibumihanguskan agar langkah yang ditempuh bisa lebih mudah. Hal
ini nampak dalam kutipan berikut ini:
“Maksum terperangah, “Tapi, mengapa kita
disini tidak pernah mendengarnya?”
Kasdul menghela napas. “itu karena
orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga
yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang.”
Dari kutipan diatas menandakan
bahwa warga dilanda ketakutan karena mereka berada dalam tekanan yang besar,
berupa ancaman dan keselamatan jiwa mereka sendiri. Ketakutan masyarakat
tercermin pada kutipan berikut ini:
“Di hari sesiang ini, seperti hari-hari
sebelumnya, ia belum juga melihat tanda-tanda kehidupan didesanya. Pintu-pintu
rumah masih tetap terkatup rapat.”
Banjir dalam cerpen Banjir di Cibaresah merupakan gambaran
bahwa sebuah musibah telah melanda. Musibah yang tidak bisa dielak lagi. Dalam artian tidak
hanya musibah dalam bentuk materi namun musibah yang melanda sebuah kepribadian
individu, keterpurukan moral dan melemahnya jiwa sosialis yang membawa kepada
keterpurukan zaman.
Pengunaan kekuasaan yang tidak
dikendalikan oleh iman namun nafsu sebagai pengendali seluruh aktivitas akan
mengantarkan kepada sebuah tindakan tidak terpuji, tindakan yang melanggar
norma-norma yang ada. Melakukan praktik Korupsi, kolusi dan nipotisme (KKN).
Praktik KKN saat ini sangat menjadi budaya yang dianggap biasa dikalangan
pemerintahan. Sehingga wajar jika dari kekuasaan tertinggi dalam hal ini
presiden, DPR, sampai yang paling rendah yakni pemerintahan desa yang dipimpin oleh
seorang kepala desa atau lurah dan dibantu oleh perangkat-perangkatnya berlumur
praktik kotor yang mengakibatkan berbagai persoalan.
Kesewenang-wenangan penguasa
terhadap rakyat hingga rakyat sangat merasa ketakutan, tindakan itu terlihat
pada kutipan berikut ini:
“ Dipinggir-pinggir kampung macam belang
juga mulai berkeliaran mencari mangsa.”
“betul, tapi entah mengapa pada saat
banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru mencari mangsa ke
kampung-kampung, juga pada malam hari macan-macan itu memangsa kambing-kambing,
kerbau-kerbau, ayam-ayam bahkan manusia pun di santapnya”
Simbol macan belang merupakan gambaran dari penguasa yang ditakuti, siapa
saja harus tunduk. Memangsa benda milik warga kampung, dalam hal ini yaitu
menggunakan atau menyelewengkan suatu hal yang seharusnya menjadi hak warga.
semacam penyelewengan anggaran bantuan, proyek ataupun yang lain merupakan
praktik KKN yang dilakukan oleh pihak penguasa. Penguasa dalam melakukan
tindakan kotor itu juga didukung oleh perangkat atau bawahannya, hal ini jelas
terlihat pada kutipan berikuti ini:
“Di belakang macan belang selalu
mengintil srigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan
belang.”
Dari kutipan tersebut disebutkan
bahwa bawahan atau perangkat dari penguasa yang disimbolkan sebagai Srigala selalu mengintil, mengikuti
langkah macan belang yakni penguasa
dalam melakukan kejahatan itu. Mereka para pengikuti mendapatkan bagiannya
sendiri. Walaupun tidak sebesar apa yang telah menjadi bagian sang atasan yang
disimbolkan seperti “serpihan-serpihan
dan sisa makanan si macan belang.”
Perilaku kotor para penguasa juga
digambarkan sebagai berikut ini:
“Masih ada yang lainnya yang tak kalah
menakutkan.”
“Apa itu?’
“Ular.”
“Ular?”
“Ya, ular. Mengerikannya banyak ular
yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia mengigit, mematuk, dan anehnya orang
yang digigit tidak langsung mati, Cuma badannya yang kurus kering.”
“Segala macam binatang mengancam kampung
kita. Ada toncat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun
kini sudah mengigit manusia.”
“Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing
semua mengancam kita orang-orang kampung ini.”
Simbolisasi para penguasa yang
melakukan tindakan kotor, memakan harta disimbolkan sebagai penghisap yang
tidak mematikan namun membuat sengsara, membuat penderitaan yang berlarut-larut
tanpa memikirkan kondisi rakyat sebagai kaum yang seharusnya dilindungi. Lebih
jauh penggambaran para pelaku tercermin pada kutipan berikut:
“Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa
saja di kampung kita, begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa
dimakan, ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa
batang-batang, kecoa juga ada dimana-mana. Kotorannya bertebar dimana-mana, dan
cacing-cacingnya Sum...”
Binatang sejenis tikus, anjing,
kecoa, cacing merupakan simbol dari para penguasa yang memakan uang rakyat,
para pelaku penyelewengan anggaran yang dianggap sangat kotor hingga
disimbolkan sebagai binatang yang menjijikan. Bahkan perilaku mereka disamakan
dengan setan-setan yang bergentayangan. Setan dalam dunia ini merupakan makhluk
tuhan yang telah dilaknat karena jalan sesat yang di ambil. Penggambaran
Perilaku para penguasa sangat jelas bahwa para penguasa saat ini memang
benar-benar sudah tidak bermoral lagi. Moral meraka telah rusak karena berbagai
kepentingan dan kebutuhan.
Para pemimpin yang berkuasa, yang
pada mulanya sebagai harapan dan pelindung masyarakat dalam berbagai persoalan
malah menjadi momok yang menakutkan masyarakat. Betapa tidak. Warga tidak
berani melaporkan kejadian-kejadian yang pernah terjadi. Bahkan bagi yang
melaporkan akan menerima akibtnya sendiri yang begitu fatal karena berkaitan
dengan keselamatan nyawanya. Pak lurah dalam cerpen Banjir di Cibaresah merupakan seorang pemimpin yang sangat tidak
manusiawi, karena dalam kasus yang terjadi di kampung nya. Para pelaku ternyata
orang-orang yang dekat dengan pak lurah. Para pendukung pak lurah sehingga
warga pun hanya bisa pasrah dalam berbagai kasus yang melanda karena para warga
memilih keselamatan jiwa mereka sendiri daripada hilang tak berbekas.
Kepala desa sebagai dalang dalam
berbagai peristiwa tercermin dalam kutipan berikut ini:
“Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat
macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di
jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di
sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua.
Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing . sesekali terdengan lolong anjing
dan dengus babi, tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu berterbangan.
Sebagian keluar masuk rumah. Sesekali berkelebat warna hitam setan-setan
seolah-olah mengancam siapa saja yang berani mendekati rumah itu.”
Sangatlah jelas bahwa para biantang
yang merupakangambaran dari para perangkat, pengikut kepala desa telah bersatu
dengan kepala desa sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar hingga tak ada
yang berani mendekat atau memberontak atak kekuasaan yang di pegangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar